Perubahan iklim bukan hanya persoalan lingkungan, cuaca ekstrem, atau kenaikan suhu global. Di balik angka dan grafik emisi karbon, terdapat realitas yang lebih halus namun mendalam: dampaknya terhadap kesehatan mental manusia. Di berbagai penjuru dunia, krisis iklim telah memicu gejala stres, kecemasan, bahkan trauma psikologis yang semakin terlihat dan perlu ditangani secara serius. Inilah yang disebut sebagai psikologi iklim (climate psychology) cabang psikologi yang mempelajari dampak emosional, kognitif, dan sosial dari perubahan iklim.

1. Kecemasan Iklim (Climate Anxiety): Ketakutan Akan Masa Depan

Istilah climate anxiety atau kecemasan iklim menggambarkan perasaan gelisah, takut, dan tak berdaya yang dirasakan individu akibat memikirkan krisis iklim yang berlangsung dan ancaman yang ditimbulkannya di masa depan. Kecemasan ini terutama banyak dialami oleh generasi muda, yang merasa harus mewarisi dunia yang semakin tidak stabil secara ekologis.

Studi yang diterbitkan di jurnal The Lancet Planetary Health tahun 2021 menunjukkan bahwa 59% dari 10.000 responden muda di 10 negara merasa sangat atau sangat khawatir terhadap perubahan iklim. Sebagian besar merasa pemerintah tidak cukup bertindak, yang memperburuk kecemasan mereka.

Kecemasan iklim bisa memicu gangguan tidur, rasa tidak berdaya, dan kelelahan emosional. Meskipun tidak tergolong sebagai gangguan mental formal, jika berlarut-larut dan tidak ditangani, kondisi ini dapat memengaruhi kualitas hidup seseorang secara signifikan.

2. Stres dan Trauma Pasca Bencana

Perubahan iklim meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana alam seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan badai tropis. Bencana-bencana ini tidak hanya menyebabkan kerugian fisik dan ekonomi, tetapi juga meninggalkan dampak psikologis mendalam.

  • Stres pasca trauma (PTSD) sering ditemukan pada penyintas bencana.

  • Depresi dan gangguan kecemasan meningkat pasca bencana, terutama jika korban kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, atau anggota keluarga.

  • Anak-anak dan lansia termasuk kelompok yang paling rentan secara psikologis.

Di Indonesia, peristiwa seperti banjir bandang di Sulawesi Tengah, gempa dan tsunami di Palu, serta kebakaran hutan di Kalimantan menunjukkan bahwa dukungan mental pasca bencana sering kali kurang menjadi prioritas.

3. Rasa Tidak Berdaya dan Ketidakpastian Masa Depan

Perubahan iklim adalah isu global dan kompleks. Banyak individu merasa bahwa upaya pribadi mereka tidak akan cukup untuk mengubah arah kehancuran ekologis yang sudah berlangsung. Perasaan ini menimbulkan "eco-paralysis", yaitu kondisi pasrah dan tidak bertindak karena merasa situasinya terlalu besar dan sulit diatasi.

Rasa tidak berdaya ini juga bisa memicu:

  • Kelesuan sosial (social apathy)

  • Kehilangan motivasi hidup

  • Penarikan diri dari isu lingkungan atau politik

4. Pentingnya Komunikasi Iklim yang Solutif

Dalam menghadapi dampak psikologis perubahan iklim, salah satu aspek kunci adalah bagaimana kita berbicara tentang iklim. Komunikasi yang terlalu fokus pada narasi kehancuran tanpa solusi justru bisa memperkuat kecemasan dan ketidakberdayaan.

Sebaliknya, pendekatan yang menggabungkan fakta ilmiah dengan pesan harapan dan aksi nyata lebih efektif dalam mendorong keterlibatan masyarakat. Komunikasi yang solutif meliputi:

  • Menyampaikan aksi positif yang telah dilakukan individu atau komunitas.

  • Menunjukkan bahwa perubahan masih mungkin terjadi jika kita bertindak bersama.

  • Mengakui emosi yang muncul tanpa menakut-nakuti.

  • Mendorong keterlibatan aktif, bukan sekadar rasa takut.

5. Peran Psikolog dan Komunitas dalam Adaptasi Iklim

Menghadapi dimensi psikologis dari perubahan iklim memerlukan pendekatan multidisipliner. Para profesional kesehatan mental perlu diberdayakan untuk mengenali dan menangani kecemasan terkait iklim. Di sisi lain, komunitas dan institusi dapat berperan dalam:

  • Menyediakan ruang dialog dan ekspresi emosi terkait perubahan iklim.

  • Mengembangkan program kesehatan mental pasca bencana.

  • Mengintegrasikan aspek psikologis dalam kebijakan adaptasi iklim.

Perubahan iklim adalah tantangan zaman kita dan tantangan itu tidak hanya menuntut inovasi teknologi atau reformasi kebijakan, tetapi juga ketahanan psikologis dan solidaritas emosional. Dengan menyadari dampak psikologis yang nyata, kita bisa merancang pendekatan adaptasi yang lebih manusiawi, inklusif, dan penuh harapan. Kesehatan mental dan perubahan iklim bukan dua isu yang terpisah. Justru, keduanya saling terkait erat. Menjaga planet ini berarti juga menjaga keseimbangan emosi dan pikiran kita.

 

Referensi:

  1. Hickman, C., Marks, E., Pihkala, P., Clayton, S., Lewandowski, R. E., Mayall, E. E., ... & van Susteren, L. (2021). Climate anxiety in children and young people and their beliefs about government responses to climate change: a global survey. The Lancet Planetary Health, 5(12), e863-e873. https://doi.org/10.1016/S2542-5196(21)00278-3

  2. World Health Organization. (2022). Mental health and climate change: policy brief. https://www.who.int/publications/i/item/9789240055794

  3. APA (American Psychological Association). (2017). Mental Health and Our Changing Climate: Impacts, Implications, and Guidance. https://www.apa.org/news/press/releases/2017/03/mental-health-climate.pdf