Pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak awal 2020 membawa dampak signifikan tidak hanya terhadap kesehatan dan ekonomi global, tetapi juga pada lingkungan. Penutupan aktivitas industri, pembatasan perjalanan, dan penurunan mobilitas manusia memicu penurunan sementara emisi gas rumah kaca (GRK) di berbagai negara. Namun, berbagai laporan menyatakan bahwa efek positif ini bersifat sementara jika tidak diikuti dengan kebijakan lingkungan jangka panjang.
Data United Nations Environment Programme (UNEP) menunjukkan bahwa meskipun lockdown global menurunkan emisi karbon secara signifikan pada 2020, penurunan tersebut tidak cukup untuk menghentikan tren perubahan iklim. UNEP menegaskan bahwa tanpa transformasi struktural menuju energi bersih, emisi akan kembali meningkat ketika ekonomi pulih.
Di Eropa, European Environment Agency (EEA) melaporkan penurunan emisi GRK sebesar 8,3 persen pada 2023 dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini sebagian besar dipengaruhi oleh penggunaan energi terbarukan, efisiensi energi, dan kebijakan lingkungan yang ketat. Meski demikian, pakar iklim mengingatkan bahwa pencapaian ini perlu dijaga agar tidak tergerus oleh pertumbuhan ekonomi berbasis energi fosil.
Jerman menjadi salah satu contoh negara yang berhasil memanfaatkan momentum pandemi untuk mempercepat transisi energi. Menurut laporan Deutsche Welle (DW), penurunan emisi di Jerman pada masa pandemi mencapai rekor tertinggi dalam 30 tahun terakhir, didorong oleh penurunan konsumsi energi berbasis batu bara dan peningkatan energi terbarukan.
Namun, tidak semua wilayah menunjukkan tren serupa. Studi The Conversation menemukan bahwa meskipun langit terlihat lebih bersih selama pandemi, emisi GRK secara global tetap meningkat di beberapa sektor, terutama dari pembangkit listrik dan industri yang tetap beroperasi. Penurunan emisi yang terjadi sebagian besar berasal dari sektor transportasi akibat pembatasan mobilitas.
Laporan Mongabay Indonesia bahkan mengungkap bahwa dampak pandemi terhadap iklim dapat terdeteksi hingga ke atmosfer Bulan, melalui penurunan konsentrasi nitrogen dioksida (NO₂) di atmosfer Bumi yang diukur satelit. Hal ini menunjukkan betapa signifikan perubahan aktivitas manusia terhadap lingkungan.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan menekankan bahwa krisis iklim berpotensi membawa dampak yang lebih luas dibanding pandemi. Kerugian ekonomi akibat bencana iklim dapat melampaui kerugian akibat COVID-19 jika tidak ada langkah mitigasi yang tegas. Oleh karena itu, momentum penurunan emisi pada masa pandemi seharusnya menjadi titik awal bagi transisi menuju ekonomi rendah karbon.
Banyak ahli menilai pandemi telah memberikan “jeda” bagi Bumi, namun pemulihan lingkungan memerlukan kebijakan jangka panjang. Tanpa perubahan struktural di sektor energi, transportasi, dan industri, penurunan emisi yang terjadi hanya akan menjadi anomali sesaat dalam grafik kenaikan emisi global.
Daftar Referensi
- Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2024). Ancaman Krisis Iklim Dapat Lebih Luas dari Pandemi. Diakses dari: https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Ancaman-Krisis-Iklim-Dapat-Lebih-Luas-Dari-Pandemi
- Kompas.com – Lestari. (2024, 4 November). Eropa Catat Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca 8,3 Persen pada 2023. Diakses dari: https://lestari.kompas.com/read/2024/11/04/184700286/eropa-catat-penurunan-emisi-gas-rumah-kaca-8-3-persen-pada-2023
- DW Indonesia. (2021, 4 Januari). Jerman Berhasil Kurangi Emisi Berkat Pandemi COVID-19. Diakses dari: https://www.dw.com/id/jerman-berhasil-kurangi-emisi-berkat-pandemi-covid-19/a-56125978
- United Nations Environment Programme (UNEP). (2020). Emissions Gap Report 2020. UNEP, Nairobi.
- Mongabay Indonesia. (2024, 8 Februari). Jejak Pandemi hingga ke Bulan. Diakses dari: https://www.mongabay.co.id/2024/02/08/jejak-pandemi-hingga-ke-bulan