Kepulauan Togean di Sulawesi Tengah adalah permata bahari yang memikat, menawarkan keindahan bawah laut yang luar biasa. Dengan 262 spesies karang yang tercatat, Togean menjadi surga bagi para penyelam dan snorkeler. Namun, keindahan ini kini berada di ujung tanduk, terancam oleh fenomena global yang dikenal sebagai coral bleaching.

Coral bleaching bukanlah sekadar perubahan warna biasa, melainkan sebuah kondisi di mana terumbu karang yang merupakan hewan laut kehilangan alga zooxanthellae yang hidup bersimbiosis dengannya. Alga ini tidak hanya memberi warna, tetapi juga menyediakan nutrisi utama bagi karang. Ketika suhu air laut meningkat, karang akan stres dan melepaskan alga tersebut, membuatnya kehilangan warna dan menjadi putih. Jika kondisi ini terus berlanjut, karang akan mati.

 

Perubahan Iklim Bukan Lagi Prediksi, Melainkan Realitas

Ancaman terbesar bagi terumbu karang Togean adalah kenaikan suhu air laut akibat perubahan iklim. Menurut laporan G20 Climate Risk Atlas 2021, suhu rata-rata permukaan laut di perairan Indonesia diprediksi akan naik 1,1 hingga 1,5 derajat Celcius pada tahun 2050. Kenaikan ini adalah pemicu utama coral bleaching.

Kabar buruknya, fenomena ini sudah terjadi dan bahkan memburuk. Pada tahun 2021, Kepala Balai Taman Nasional Kepulauan Togean, Busra, mengungkapkan bahwa 60% terumbu karang di sana mengalami kerusakan, dengan 40% rusak parah dan 20% rusak sedang. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh perubahan suhu, tetapi juga diperparah oleh pencemaran limbah anorganik.

Dampak dari kerusakan ini sangat nyata. Ekosistem karang yang sehat adalah rumah bagi ribuan ikan. Kerusakan karang secara langsung menyebabkan menurunnya hasil tangkapan nelayan, mengancam mata pencaharian masyarakat pesisir yang bergantung pada laut.

Upaya Pemerintah dan Tantangan ke Depan

Pemerintah telah mengambil langkah untuk mengatasi masalah ini, salah satunya melalui program transplantasi terumbu karang. Sebanyak 13.200 bibit karang telah ditransplantasikan di perairan Togean untuk memulihkan ekosistem yang rusak.

Namun, apakah transplantasi ini cukup untuk melawan gelombang perubahan iklim?

Berdasarkan berita terkini, kenaikan suhu laut bukan lagi sekadar prediksi, melainkan realitas yang terus memburuk. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada awal tahun 2024 mengkaji fenomena pemutihan karang yang terjadi di beberapa kawasan konservasi laut, seperti Gili Matra dan Laut Sawu, sebagai respons terhadap kenaikan suhu air laut yang signifikan.

Laporan dari NASA tahun 2024 juga menunjukkan bahwa permukaan laut global naik lebih cepat dari perkiraan, didorong oleh "pemuaian termal" air laut akibat penyerapan panas berlebih. Di Sulawesi Tengah sendiri, dampak perubahan iklim sudah terasa. Menjelang akhir tahun 2024, warga di Pulau Papan, Togean, dilaporkan mengalami banjir rob akibat air laut yang naik, menunjukkan bahwa ancaman ini tidak hanya di bawah laut, tetapi juga di daratan.

Meskipun transplantasi adalah langkah yang baik, ini hanyalah solusi di permukaan. Untuk benar-benar menyelamatkan Togean, diperlukan tindakan yang lebih besar. Upaya lokal harus didukung oleh kebijakan nasional dan global yang serius dalam menekan laju perubahan iklim. Tanpa tindakan kolektif, masa depan Togean dan seluruh ekosistem laut lainnya akan tetap terancam.

 

Referensi:

  • G20 Climate Risk Atlas 2021: Laporan dari Euro-Mediterranean Center on Climate Change.
  • ANTARA News: Berita tahun 2021 dengan judul "60 persen terumbu karang di Taman Nasional Togean rusak".
  • Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP): Artikel berita resmi KKP berjudul "KKP Kaji Fenomena Pemutihan Karang Waspadai Naiknya Suhu Air Laut".
  • Mongabay Indonesia: Artikel berita berjudul "Catatan Akhir Tahun: Krisis Iklim yang Semakin Nyata Dirasakan Masyarakat Pesisir Sulawesi".

Media Indonesia: Artikel berita berjudul "Permukaan Laut Naik Lebih Cepat di 2024, NASA: Pemuaian Air Jadi Penyebab Utama".