- Details
- Hits: 4781

Peristiwa siklon tropis yang melanda Sumatera tidak dapat dilepaskan dari hilangnya sekitar 1,4 juta hektare hutan tropis yang dialihfungsikan menjadi kawasan pertambangan maupun perkebunan sawit. Perubahan tutupan lahan ini mengakibatkan rusaknya fungsi hidrologis hutan, sehingga kemampuan tanah dalam menyerap air menurun drastis dan memicu aliran permukaan yang bersifat destruktif.
Dampak bencana ini sangat besar. Tercatat 967 jiwa meninggal dunia dan 262 orang dinyatakan hilang, menjadikannya salah satu bencana terburuk dalam sejarah modern Indonesia. Sebanyak 3,3 juta jiwa terdampak, kehilangan tempat tinggal, harta benda, serta pola hidup sehari-hari. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp68,8 triliun, dengan 3.500 bangunan rusak berat, 271 akses jembatan hancur, dan 282 fasilitas pendidikan mengalami kerusakan.
Di media sosial, beredar banyak dokumentasi berupa gelondongan kayu hasil pembalakan liar, bahkan beberapa di antaranya bertuliskan nama perusahaan yang diharapkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerusakan ekologis yang terjadi. Kondisi ini seolah beriringan dengan ekspansi perkebunan sawit yang telah mencapai 2,45 juta hektar, jauh melampaui kapasitas lingkungan yang semestinya.
Di balik besarnya dampak dan kerugian tersebut, peristiwa ini mencerminkan lemahnya penegakan hukum terhadap praktik pembalakan hutan yang masif dan tidak terkendali, serta pengawasan yang tidak konsisten dari pihak terkait. Kebijakan pembangunan yang tidak tertata juga menempatkan kelompok rentan di wilayah rawan bencana, sementara harga lahan di daerah yang relatif aman terus melambung tinggi.
Banyaknya korban jiwa menunjukkan bahwa peringatan dini dan mitigasi bencana belum menjadi prioritas utama. Padahal, BMKG secara rutin telah menyampaikan informasi mengenai potensi siklon tropis di sekitar wilayah Indonesia. Pada kejadian ini, pemerintah terkesan abai dan “kecolongan”. Oleh karena itu, diperlukan perubahan pola pikir, disertai edukasi yang lebih masif kepada masyarakat mengenai kesiapsiagaan bencana.
Ekosistem yang Kehilangan Daya Tahan
Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sehat ditopang oleh hutan dengan tutupan vegetasi lebat yang berfungsi sebagai sistem intersepsi alami. Akar pohon mampu menyerap hingga 55% air hujan, sehingga air tidak langsung mengalir ke permukaan. Pada kondisi normal, limpasan permukaan (runoff) hanya berkisar 10–20% dari total curah hujan. Dengan mekanisme ini, hutan mampu menahan, menyerap, dan melepaskan air secara perlahan tanpa merusak ekosistem.
Sebaliknya, kondisi hutan di Sumatera saat ini telah mengalami penurunan daya serap air yang signifikan. Hal ini memicu erosi dan runoff yang masif, bersifat destruktif terhadap lingkungan. Degradasi DAS secara sistematis telah menghilangkan kemampuan alami ekosistem dalam meredam dampak cuaca ekstrem.
Faktor Meteorologi dan Topografi
Wilayah khatulistiwa selama ini dianggap relatif aman dari hantaman badai besar karena berada dalam jarak sekitar 5° lintang atau ±500 km dari garis khatulistiwa. Pembentukan badai tropis umumnya dipengaruhi oleh efek Coriolis, yaitu gerak semu akibat rotasi bumi yang memicu pembelokan angin dan terbentuknya pusaran badai. Di wilayah khatulistiwa, efek ini relatif lemah sehingga badai seharusnya sulit terbentuk.
Namun, kejadian di Sumatra menunjukkan bahwa bencana tetap dapat terjadi akibat curah hujan ekstrem yang turun di wilayah dengan topografi curam, seperti Pegunungan Bukit Barisan. Kondisi tanah yang telah jenuh air mempercepat aliran permukaan, sehingga meningkatkan risiko banjir bandang dan longsor meskipun tanpa terbentuknya badai tropis secara sempurna.
Siklus Bencana yang Terus Berulang
Pola penanganan bencana yang lebih menitikberatkan pada bantuan pascabencana dibandingkan edukasi dan pencegahan membuat masyarakat terus hidup dalam ketidakpastian. Ketidaksungguhan dalam menjaga ekosistem, khususnya hutan yang berperan besar dalam kejadian bencana hidrometeorologi, memperpanjang siklus bencana itu sendiri.
Saat potensi bencana muncul, masyarakat sering kali kebingungan karena minimnya informasi yang jelas dan terarah dari para pemangku kebijakan. Informasi baru hadir ketika bencana telah terjadi, bersamaan dengan penyaluran bantuan. Padahal, pemerintah seharusnya mampu mengelola potensi alam Indonesia secara bijak tanpa merusak ekosistem yang justru mempercepat terjadinya bencana yang lebih besar. Pemanfaatan informasi dari BMKG terkait potensi siklon tropis dan cuaca ekstrem juga masih belum optimal, sehingga upaya mitigasi tidak tersampaikan dengan baik kepada masyarakat.
“Sudah saatnya pola pikir diubah: bukan sekadar bagaimana membantu korban setelah bencana, melainkan bagaimana mencegah agar tidak ada korban. Pembenahan menyeluruh perlu dilakukan, dan pemerintah harus menjadi pihak pertama yang memulainya.”
- Pengenalan Conference of the Parties (COP) dan Pembaruan Hasil COP30 di Belém, Brasil
- 2025: Tahun Terpanas Kedua dalam Sejarah dan Dampaknya bagi Indonesia serta Sulawesi Tengah
- Peran Sistem Peringatan Dini (Early Warning System/EWS) BMKG dalam Pengurangan Risiko Bencana di Sulawesi Tengah
- Bagaimana BMKG Menyusun Prakiraan Musim?