Sumber: https://climatepromise.undp.org/news-and-stories/what-are-early-warning-systems-and-why-do-they-matter-climate-action 

Peran Sistem Peringatan Dini (Early Warning System/EWS) BMKG dalam Pengurangan Risiko Bencana di Sulawesi Tengah

Sistem Peringatan Dini atau Early Warning System (EWS) merupakan salah satu pilar penting dalam pengelolaan risiko bencana. Sistem ini bertujuan mendeteksi potensi bahaya sejak dini dan menyebarkan informasi kepada masyarakat sebelum dampak besar terjadi. Di tingkat nasional, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) berperan dalam penyediaan peringatan multi-bahaya seperti cuaca ekstrem, gempa bumi, tsunami, serta anomali iklim.

Secara internasional, Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization) menekankan bahwa EWS yang efektif harus bersifat people-centered, terintegrasi, dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Prinsip ini menjadi acuan global yang juga diterapkan oleh BMKG.

1. Komponen & Pengembangan EWS oleh BMKG

Menurut BMKG, “Sistem Peringatan Dini (Early Warning System, EWS) adalah salah satu pendekatan utama dalam pengelolaan risiko bencana yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif dari bencana alam terhadap kehidupan manusia dan aset penting lainnya.”
Secara umum, EWS mencakup empat komponen utama:

  • Deteksi/pemantauan (sensor, pengamatan)

  • Analisis dan prediksi (memproses data sehingga bisa memperkirakan waktu, lokasi, intensitas)

  • Peringatan dan diseminasi (menyampaikan informasi kepada stakeholder dan masyarakat)

  • Respon dan mitigasi (masyarakat dan institusi merespons peringatan dengan tindakan yang telah disiapkan)

BMKG juga mengembangkan beberapa sistem peringatan dini, antara lain:

  • MEWS (Meteorology Early Warning System)

Memperkuat prediksi jangka pendek (nowcasting) hingga 6–10 jam ke depan, termasuk potensi hujan lebat, petir, dan angin kencang.

  • CEWS (Climate Early Warning System)

Mengarahkan sektor pertanian, perikanan, dan sumber daya air melalui informasi prakiraan iklim jangka menengah (bulanan-musiman), indeks kekeringan, dan potensi banjir.

  • INA-EEWS (Indonesia Earthquake Early Warning System)

Sistem peringatan gempa memberikan informasi beberapa detik sebelum guncangan kuat dirasakan, sehingga memungkinkan penutupan otomatis lift, penghentian mesin pabrik, serta memberikan waktu bagi masyarakat untuk melakukan perlindungan diri dengan cepat.

  • InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System)

Sistem peringatan dini tsunami mampu mengeluarkan informasi dalam waktu kurang dari tiga menit setelah gempa kuat terdeteksi. Kemampuan ini didukung oleh penggunaan buoy tsunami, tide gauge, pemodelan cepat, serta algoritma intensitas guncangan yang bekerja secara terintegrasi untuk menilai potensi tsunami secara real-time. Dengan proses yang sangat cepat, informasi dapat segera didiseminasikan kepada pihak terkait dan masyarakat di wilayah pesisir untuk melakukan langkah evakuasi secara tepat waktu.

2. Perspektif WMO tentang Early Warning

  • Multi-hazard
    Sistem harus mampu mendeteksi dan merespons berbagai ancaman seperti banjir, badai, gelombang panas, kekeringan, cuaca ekstrem, gempa, dan tsunami dalam satu platform terintegrasi.

  • Berbasis data observasi terpercaya
    Keakuratan peringatan bergantung pada data sensor, radar, satelit, stasiun cuaca, serta jaringan seismik yang memadai agar prediksi dan analisis dapat dilakukan secara ilmiah dan real-time.

  • Mudah dipahami oleh masyarakat
    Pesan peringatan harus menggunakan bahasa sederhana, singkat, dan menyertakan instruksi tindakan (apa, di mana, kapan, dan harus melakukan apa) agar tidak memicu kebingungan.

  • Menjangkau daerah terpencil
    Distribusi informasi harus menggunakan berbagai jalur komunikasi seperti SMS broadcast, sirine, radio komunitas, pengeras suara desa, aplikasi, dan media sosial agar daerah sulit akses tetap menerima peringatan.

Empat Pilar EWS yang Efektif Menurut WMO

  1. Penilaian risiko bencana
    Memetakan jenis bahaya, tingkat ancaman, kerentanan masyarakat, dan kapasitas wilayah untuk menentukan prioritas serta langkah mitigasi yang tepat.

  2. Pengamatan dan prediksi
    Melibatkan pemantauan berkelanjutan menggunakan sensor, radar, satelit, data iklim, serta pemodelan untuk menentukan potensi kejadian bencana sedini mungkin.

  3. Diseminasi cepat
    Informasi peringatan harus disampaikan segera melalui sistem komunikasi yang luas dan andal, sehingga masyarakat dapat merespons tanpa keterlambatan kritis.

  4. Kesiapsiagaan masyarakat
    Edukasi publik, simulasi, pelatihan, serta pemahaman jalur evakuasi menjadi kunci agar masyarakat tahu bagaimana bertindak ketika peringatan disampaikan.

3. Keterkaitan dengan Kondisi di Sulawesi Tengah

Sulawesi Tengah merupakan wilayah dengan profil risiko bencana yang tinggi dan kompleks, sehingga keberadaan Sistem Peringatan Dini (EWS) menjadi sangat krusial. Secara geologis, provinsi ini berada di kawasan yang dipengaruhi oleh beberapa sesar aktif, sehingga memiliki potensi terjadinya gempa bumi yang signifikan. Kondisi geografis berupa garis pantai yang panjang juga meningkatkan kerentanan terhadap tsunami, terutama di wilayah pesisir yang padat aktivitas masyarakat. Selain itu, kontur wilayah yang didominasi lereng curam membuat beberapa daerah rawan mengalami tanah longsor, terutama saat terjadi hujan dengan intensitas tinggi dalam waktu singkat. Dari sisi klimatologi, data pengamatan menunjukkan adanya variasi curah hujan yang sangat signifikan antarwilayah dan antarkabupaten. Misalnya, terdapat lokasi yang mengalami curah hujan ekstrem, sementara wilayah lain pada periode yang sama justru mengalami kondisi sangat kering. Variabilitas ini menunjukkan pentingnya jaringan sensor lokal dan akurasi data untuk prediksi yang lebih spesifik. Menanggapi kondisi tersebut, BMKG secara rutin menerbitkan peringatan dini cuaca ekstrem untuk wilayah Sulawesi Tengah, mencakup potensi hujan lebat, angin kencang, dan petir, serta wilayah-wilayah administratif terdampak yang diperbarui setiap hari. Hal ini menunjukkan bahwa EWS tidak hanya diperlukan, tetapi menjadi instrumen penting untuk mendukung kesiapsiagaan masyarakat dan mitigasi bencana di tingkat daerah.

4. Tantangan Implementasi di Sulawesi Tengah

Beberapa tantangan masih perlu diperhatikan dalam penerapan Sistem Peringatan Dini di Sulawesi Tengah. 

  • Sebaran sensor pengamatan yang belum merata, terutama pada daerah pegunungan dan wilayah terpencil, menyebabkan adanya “blind spot” data sehingga akurasi deteksi cuaca ekstrem, curah hujan, maupun getaran seismik belum optimal. 
  • Tantangan diseminasi informasi ke pulau-pulau kecil, seperti Kepulauan Togean, yang masih bergantung pada jaringan komunikasi terbatas; kondisi ini dapat menghambat penyampaian peringatan dini secara real-time. 
  • Kesiapsiagaan komunitas yang masih perlu ditingkatkan, karena sebagian masyarakat belum sepenuhnya memahami prosedur evakuasi, tanda peringatan, ataupun langkah mitigasi saat menerima notifikasi bahaya, sehingga diperlukan edukasi berkelanjutan dan simulasi rutin. 
  • Keterbatasan jalur evakuasi di wilayah pesisir, yang seringkali sempit, tidak memiliki rambu yang jelas, atau belum terhubung dengan titik kumpul aman, sehingga waktu respon masyarakat menjadi lebih panjang. 
  • Ancaman multi-hazard yang saling berpotensi menguatkan, misalnya hujan lebat yang dapat memicu banjir dan longsor secara bersamaan, atau gempa bumi yang memicu pergerakan tanah dan risiko tsunami; kombinasi ini membuat perencanaan mitigasi di Sulawesi Tengah memerlukan pendekatan yang terintegrasi lintas sektor dan lintas bahaya. Tantangan-tantangan tersebut perlu diatasi secara kolaboratif agar efektivitas EWS dapat semakin meningkat di wilayah ini.

5. Strategi Penguatan untuk Sulawesi Tengah

Guna mengoptimalkan fungsi EWS dalam meminimalkan risiko bencana, beberapa upaya berikut dapat diterapkan:

  • Peningkatan jumlah sensor meteorologi dan seismik
    Penambahan alat pengamatan cuaca (AWS, rain gauge, radar) serta sensor seismik di kabupaten/kota yang belum terjangkau akan meningkatkan resolusi dan akurasi data. Semakin banyak titik pengamatan, semakin cepat potensi bahaya dapat terdeteksi, terutama pada wilayah dengan variasi curah hujan dan sebaran sesar aktif.

  • Pelatihan BPBD, aparat desa, dan sekolah terkait respons peringatan dini
    Kapasitas sumber daya manusia menjadi kunci keberhasilan EWS. Pelatihan ini memungkinkan aparat lokal memahami jenis peringatan, prosedur evakuasi, dan penanganan darurat. Sekolah juga penting karena anak-anak merupakan kelompok rentan dan dapat menjadi agen penyampai informasi ke keluarga.

  • Pemanfaatan radio komunitas untuk daerah terpencil
    Radio lokal masih menjadi media yang efektif bagi wilayah tanpa akses internet atau sinyal telekomunikasi. Integrasi radio komunitas dengan pusat peringatan BMKG akan membantu memastikan informasi diterima oleh masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil atau daerah terisolasi.

  • Perbaikan infrastruktur evakuasi di area rawan tsunami
    Jalur menuju titik evakuasi harus diperbaiki dan diberi tanda yang jelas. Pembangunan tempat evakuasi vertikal (shelter) juga perlu diprioritaskan di wilayah pesisir padat penduduk untuk meminimalkan waktu tempuh saat peringatan tsunami dikeluarkan.

  • Pemanfaatan CEWS untuk sektor pertanian dan pengelolaan air
    Climate Early Warning System (CEWS) menyediakan prediksi musim, potensi kekeringan, hujan ekstrem, serta indeks kelembaban yang berharga bagi petani, bendungan, dan pengelola irigasi. Informasi ini dapat digunakan untuk menentukan waktu tanam, distribusi air, serta mitigasi gagal panen.

  • Edukasi budaya kesiapsiagaan melalui kampanye berbasis komunitas
    Kampanye berkelanjutan melalui posyandu, kelompok nelayan, kelompok tani, tokoh agama, dan organisasi pemuda dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya peringatan dini. Budaya kesiapsiagaan yang kuat memastikan bahwa saat peringatan dikeluarkan, tindakan respon terjadi secara cepat dan terarah.

EWS yang dikembangkan BMKG merupakan pondasi penting dalam mengurangi risiko bencana di Indonesia. Di Sulawesi Tengah, penguatan sistem ini menjadi prioritas mengingat interaksi ancaman geologi dan hidrometeorologi yang kompleks. Dengan dukungan sensor yang lebih merata, edukasi masyarakat, dan integrasi data lokal, Sulawesi Tengah berpotensi menjadi contoh penerapan EWS yang efektif sesuai prinsip WMO: “Early Warnings for All, and All Respond to Early Warnings.”

Daftar Pustaka

  1. BMKG. (2023). Sistem Peringatan Dini BMKG: Konsep dan Implementasi. Jakarta: BMKG.
  2. BMKG. (2024). Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) Update. Jakarta: BMKG.
  3. BMKG Stasiun GAW Lore Lindu Bariri. (2025). Data Pengamatan Curah Hujan dan Hari Hujan Bulanan Sulawesi Tengah.
  4. BNPB. (2023). Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI). Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
  5. BPS Provinsi Sulawesi Tengah. (2024). Statistik Lingkungan Hidup dan Iklim Daerah.
  6. WMO. (2023). Early Warnings for All: Global Status Update. World Meteorological Organization.
  7. WMO. (2022). Multi-hazard Early Warning Systems: A Checklist. Geneva: WMO.